Pages

Blogroll

Blogger news

Jumat, 02 November 2012

ENDANGERED SPECIES


Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak 500 tahun yang lalu telah terjadi kepunahan pada salah satu species invertebrata laut  dengan menganalisa dari fosil cangkangnya. "Jika pola yang kami amati dalam catatan fosil menunjukkan spesies yang hidup saat ini. Maka, kami menemukan bahwa spesies dengan populasi yang tinggi namun dengan lingkup yang kecil merupakan hewan yang rentan terhadap kepunahan," ujar Paul Harnik, peneliti dari National Evolutionary Synthesis Center, seperti dikutip Eurekalert, Rabu (24/10/2012.
Kata "langka", bisa diartikan sebagai spesies yang berada dilingkup geografis terbatas atau populasinya kecil dan species yang hanya berada di satu kawasan atau daerah, misalnya Ikan Banggai CardinalFish (Pterapogon kauderni) yang hanya di temukan di kepulauan Banggai. Banyak para peneliti berpendapat bahwa hewan yang tergolong langka cenderung untuk mengalami kepunahan secara cepat.
Kepunahan adalah dampak dari ketidakmampuan sebuah species dalam proses adaptasinya. Proses adaptif ini meliputi pemenuhan akan makanan, serangan predator, bencana alam, serta perubahan lingkungan yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan menjadi buruk, biasanya penurunan kualitas lingkungan ini disebabkan oleh kegiatan antropogenik manusia. Species yang tidak mampu adaptif terhadap lingkungannya akan mengalami penurunan kualitas dalam berbagai hal, misalnya : tidak mampu untuk tumbuh secara maksimal, mudah untuk di mangsa predator dan kemampuan bereproduksinya menjadi rendah bahkan tidak mampu untuk bereproduksi.
Di dua abad terakhir ini kepunahan lebih banyak disebabkan oleh kegiatan antropogenik manusia salah satunya yaitu untuk pembangunan ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh ekonom Pearce dan Turner (1990) bahwa kepunahan species disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, (1) Pemanenan yang dilakukan dengan biaya yang sangat rendah. (2) Discount rate dari perburuan dan penangkapan species sangat tinggi, (3) Dan tidak adanya kepemilikan (common property) dan kondisi akses terbuka(open acces).
Melihat kondisi laut dengan sifatnya yang common property dan open access membuat manusia dengan bebasnya melakukan kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya laut. Pemenuhan akan kebutuhan sumberdaya alam laut yang besar menyebabkan manusia berusaha untuk mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu yang singkat. Pengambilan sumberdaya laut yang kurang memperhatikan kondisi ekosistem menyebabkan kerusakan pada ekosistem secara cepat dan hilangnya biota yang menjadi target buruan.
Salah satu metode pengambilan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan bom ikan, metode ini sangat banyak dilakukan para nelayan karena biaya operasional yang dikeluarkan murah dengan hasil yang banyak. Para nelayan kecil sadar akan dampak buruk dari penggunaan bom ini akan tetapi mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk melakukan penangkapan yang tidak merusak lingkungan. Untuk itulah mereka membutuhkan dukungan modal dari pemerintah namun pemberian modal serta perhatian pemerintah dalam kesejahteraan para nelayan masih sangat minim.
Kepunahan sumberdaya laut dapat diredam dengan berbagai cara, Untuk meredam laju kepunahan spesies di muka bumi ini, negara-negara di dunia menetapkan status konservasi terhadap species species yang terancam punah. Status konservasi yang sering menjadi rujukan adalah IUCN Red List dan CITES. IUCN Red List adalah daftar status konservasi spesies yang dikeluarkan oleh organisasi IUCN (the International Union for Conservation of Nature), yang terdiri dari Least Concern (beresiko rendah), near threatened (hampir terancam), vulnerable (rentan), endangered (terancam punah), critically endangered (kritis), extinct in the wild (punah di alam liar), dan extinct (punah).
Sementara CITES (Convention on international trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ) menetapkan 3 kategori spesies yang dikenal dengan istilah Appendiks, yaitu Appendiks I berisi daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional, Appendiks II berisi daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, dan Appendiks III berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.
Di Indonesia di tetapkan regulasi nasional yang mengatur mengenai konservasi terhadap biota laut yang dilindungi. Dalam Undang Undang No 45 Tahun 2009 tentang perikanan  mengamanatkan kepada Menteri Kelautan & Perikanan untuk menetapkan jenis ikan yang dilindungi. Definisi ikan yang dilindungi menurut penjelasan Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah jenis ikan yang dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk jenis ikan yang dilindungi secara terbatas berdasarkan ukuran tertentu, wilayah sebaran tertentu atau periode waktu tertentu, dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga dilindungi berdasarkan ketentuan hukum internasional yang diratifikasi (seperti Appendiks I,II dan III CITES).
Penetapan status perlindungan jenis ikan bertujuan untuk menjaga dan menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kriteria jenis ikan yang dilindungi menurut PP 60/2007 meliputi terancam punah, langka, daerah penyebaran terbatas (endemik), terjadinya penurunan jumlah populasi ikan di alam secara drastis, dan/atau tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.




Kamis, 01 November 2012

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP POLA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PULAU KECIL : STUDI KASUS PULAU BADI DAN KEPULAUAN SPERMONDE


A.        Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Pemanasan Global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Sedangkan Perubahan Iklim adalah suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia. Suatu daerah mungkin mengalami pemanasan, tetapi daerah lain mengalami pendinginan yang tidak wajar. Akibat kacaunya arus dingin dan panas ini maka perubahan iklim juga menciptakan fenomena cuaca yang kacau, termasuk curah hujan yang tidak menentu, aliran panas dan dingin yang ekstrem, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya. Perubahan iklim menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu.
Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992.  Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi  yang tercantum dalam Agenda 21.  Konvensi telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994 dengan maksud untuk menjaga kestabilan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim menyebabkan mencairnya bongkahan es di kutub Utara dan Selatan, terjadinya pergeseran musim, di mana musim kemarau akan berlangsung lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan,  meningkatnya permukaan air laut,  Disamping itu, dampak lain misalnya krisis persediaan makanan akibat tingginya potensi gagal panen, krisis air bersih, meluasnya penyebaran penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah dan diare, kebakaran hutan, serta hilangnya jutaan spesies flora dan fauna.   
Bagi masyarakat pulau kecil, perubahan iklim berdampak cukup signifikan, terutama perubahan iklim yang ekstrim misalnya angin laut dan ombak kuat menyebabkan mereka terisolir dan tidak bisa melaut.   Suplai bahan pokok terhambat, sehingga kesempatan mencari nafkah tidak ada.   Sementara sumberdaya laut  makin menipis akibat rusaknya terumbu karang akibat bleaching’. 

B.   Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sumberdaya Hayati Laut

Perubahan iklim terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun. Meskipun perlahan, dampaknya sebagaian besar permukaan bumi menjadi panas. Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai.
 Ancaman iklim global sudah menjadi kepedulian komunitas internasional. Berbagai kalangan sudah menggelar pelbagai pertemuan multilateral maupun regional untuk menghadapi ancaman itu. Terakhir, pertemuan Konferensi Perubahan Iklim Desember 2007 di Bali. Pertemuan World Ocean Conference (WOC) yang akan berlangsung 11-15 Mei 2009 di Manado juga mengagendakannya. Hal ini penting karena perubahan iklim global berdampak serius terhadap kehidupan nelayan tradisional di negeri ini. Setidaknya ada dua fenomena ekstrem terhadap lautan akibat perubahan iklim global yakni kenaikan suhu air laut dan permukaan laut.
Kenaikan suhu air laut, pertama, memengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing ground dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan-ikan yang hidup di daerah karang akan mengalami penurunan populasi. Guldberg (2007) berpendapat bahwa akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50 persen biota laut. Bahkan, memprediksikan apabila suhu air laut naik 1,5 0C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnakan 98 persen terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Barangkali nantinya di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan.
Hofmann (2008), menjustifikasi bahwa pemanasan global (peningkatan suhu dan keasaman) akan berdampak pada hilangnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik yakni organisme pteropoda. Dampak selanjutnya memengaruhi populasi ikan salmon, mackerel, herring, dan cod, karena organisme itu sebagai sumber makanannya. Sementara itu, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan budi daya di wilayah pesisir.
Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi Akibatnya, nelayan pembudi daya akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber kehidupannya (UNDP, 2007).
Penyumbang terbesar dari perubahan iklim global yakni meningkatnya kadar karbon dioksida yang diproduksi oleh industri berbahan bakar fosil (migas dan batu bara), dan kendaraan bermotor. Industrialisasi berbahan bakar ini terutama terjadi di negara-negara maju yang memproduksi barang-barang konsumsi elektronik, dan makanan kaleng, senjata, industri berat dan kendaraan bermotor seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China dan India. Mereka enggan menandatangani emisi penurunan karbon, sehingga membebankannya pada negara berkembang yang secara ekonomi morat-marit.

Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota laut. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, apabila suhu air laut naik 1,50C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah.
 
 
Gambar 1 : Perubahan suhu permukaan air laut

Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.

B.b.1   Dampak Perubahan Iklim Terhadap Terumbu Karang
Dampak perubahan iklim pada kelestarian terumbu karang dunia menjadi perhatian serius dari enam negara di kawasan Coral Triangle). Keenam negara kawasan Coral Triangle ini meliputi Papua Nugini, Malaysia, Timor Leste, Kepulauan Solomon, Filipina dan Indonesia.
Dalam sebuah Simposium penyelamatan terumbu karang dari perubahan iklim di Sanur Bali (2/9), Keenam negara sepakat untuk segera mengambil langkah antisipasi bersama. Salah satu langkah Antisipasi yang dipersiapkan adalah mengambil inisiatif membangun jaringan peringatan pemutihan karang (coral bleaching) sebagai upaya mempersiapkan antisipasi kerusakan karang yang lebih parah akibat dampak perubahan iklim.
Peneliti adaptasi terhadap perubahan iklim Asia-Pasifik dari The Nature Concervation (TNC) Elizabeth Mc Loed menyatakan protokol adaptasi terumbu karang pada dasarnya sangat diperlukan oleh keenam negara karena kawasan coral triangle merupakan pusat terumbu karang dunia. Selain itu ancaman kerusakan terumbu karang akibat dampak perubahan iklim sudah semakin mengkhawatirkan.

B.b.2   CORAL BLEACHING (PEMUTIHAN KARANG)
Pemutihan karang adalah perubahan warna pada jaringan karang dari warna alaminya yang kecoklat-coklatan atau kehijau-hijauan menjadi warna putih pucat,. Pemutihan karang dapat mengakibatkan kematian pada karang. Antara bulan Maret dan Mei 1983 peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengamati peristiwa pemutihan karang besar-besaran dengan tingkat kematian yang luas mulai dari Selat Sunda (Jawa Barat), Kepulauan Seribu (Jakarta) sampai Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah).

Gambar: 2 Proses terjadinya coral bleaching
 
Sejak saat itu terjadi lagi peristiwa pemutihan karang secara global pada tahun 1998, dimana lebih dari 55 negara mengalami tingkat pemutihan dan kematian karang yang tinggi. Sebanyak 90% karang mati akibat pemutihan pada 1998 di Sumatera Barat dan Kepulauan Gili, Lombok. Karang di wilayah Indonesia yang lain juga banyak yang terkena pemutihan.
 Gambar: 3 Perbandingan keadaan terumbu karang pada tahun 2005 dan 2010
Karena karang memegang peranan penting yakni sebagai rangka dari pembentukan terumbu karang dan pulau karang, organisme terumbu karang dan juga perikanan sangat tergantung hidupnya pada karang yang sehat.
Hilangnya alga simbiotiknya yang bernama zooxanthellae yang banyak sekali hidup di jaringan karang atau hilangnya pigmen warna yang memberikan warna pada karang, dapat menyebabkan pemutihan pada karang. Tanpa zooxanthellae tersebut karang tidak dapat bertahan hidup lebih lama.
Peristiswa pemutihan sering dihubungkan dengan gangguan lingkungan seperti naiknya suhu air laut. Karang dapat hidup dalam batas toleransi suhu berkisar dari 20 sampai 30 derajat selsius. Suhu kritis yang dapat menyebabkan karang memutih tergantung dari penyesuaian karang tersebut terhadap suhu air laut rata-rata daerah dimana ia hidup. Karang cenderung memutih apabila suhu meningkat tajam dalam waktu yang singkat atau suhu meningkat perlahan lahan dalam jangka waktu yang panjang.
Gangguan alam yang lain yang dapat menyebabkan pemutihan karang yaitu tingginya tingkat sinar ultra violet, perubahan salinitas secara tiba-tiba, kekurangan cahaya dalam jangka waktu yang lama, dan penyakit. Faktor pengganggu lainnya adalah kegiatan manusia, mencakup sedimentasi, polusi dan penangkapan ikan dengan bahan peledak.
Ada perbedaan diantara spesies dan polulasi dalam merespon penyembuhan dari pemutihan. Beberapa karang dapat sembuh dan tumbuh normal lagi ketika penyebab pemutihan hilang dan dapat mengumpulkan kembali zooxanthellaenya.
Karang akan kembali ke warna semula apabila penyebab pemutihan hilang, tetapi akan mati apabila penyebabnya terus berlangsung. Oleh karena itu, pemulihan karang dari pemutihan juga tergantung dari durasi dan tingkat gangguan

C.        Fenomena Anomali Suhu Permukaan Laut

Kejadian bleaching terutama dikaitkan dengan perairan yang hangat sekitar terumbu karang sekitar 2o C selama beberapa minggu.  Selain itu, tinginya tingkat radiasi, UV, dan stressor lainnya seperti polutan tekanan osmotic dan  eutrofikasi  bisa menjadi penyebab terjadinya bleaching pada karang baik factor tunggal maupun kombinasi dari beberapa stressor (Stambler and Dubinsky, 2003).  Kejadian bleaching pada karang akibat ketidak mampuan jaringan karang mengikat zooxanthella atau merupakan mekanisme penyelamatan zooxanthella akibat massa air dengan suhu yang menyimpang.
Peningkatan suhu air laut Kepulauan Spermonde dapat dilihat dari hasil pengukuran manual temperature yang dilakukan pada akhir bulan Mei hingga akhir bulan Juli 2009.  Pada table 1 dibawah ini terjadi anomali  suhu yang meningkat hingga maksimum 1,24oC   dari suhu rata-rata tahunan 29,09oC.  Anomali suhu yang meningkat tercatat pada  satu minggu akhir Mei 2009.  Suhu air permukaan terus menurun hingga mencapai suhu normal pada tanggal 13 – 21 Juni 2009.  Sampai akhir pengamatan suhu permukaan laut mendekati  28,46 oC dengan anomali  – 0,62 oC pada tanggal 30 Juli 2009.

D.        Kondisi Sumber Daya Laut  Akibat Pemansan Global

Pada saat pengamatan terhadap komunitas karang akhir bulan Mei 2009, sebagian besar karang sudah nampak  ada yang bleaching (Yusuf, dkk. 2010).    Hal ini diasumsikan bahwa, kejadian pemanasan suhu perairan  sudah berlangsung sebelum ditemukannya karang bleaching sebagai pemicu kejadian tersebut.   Pemicu karang bleaching di Kepulauan Karibia adalah meningkatnya suhu perairan sebesar 0,6 – 1,6 dari rata-rata tahunan.  Setiap individu koloni karang memiliki respon yang berbeda terhadap perubahan temperature tergantung dari genotip  alga simbionnya (Rowan et al. 1997)  dan  siklus hidup dari koloni karang (Brown et al. 2002).
Diagram 1 Anomali suhu permukaan laut du Pulau Badi

Menurut Yusuf, dkk (2010) bahwa selama lebih dari 20 tahun, telah terjadi bleaching masal yakni pada : 1979-80, 1982-83, 1987, 1991, 1994,1998.  Tidak ada laporan kejadian bleaching sebelum tahun 1979. Pada masa bleaching karang kehilangan ciri warna spesifiknya selama beberapa minggu dan menjadi sangat putih  tampaknya.   Kehilangan warna coklat diakibatkan oleh menurunnya jumlah alga simbiotik (zooxanthellae) yang esensial bagi kesehatan karang.   ’Karang bleaching’  diartikan sebagai hilangnya warna alami binatang karang yang merupakan karakteristik sehatnya binatang karang (Szmant dan Gassman, 1990).  Hilangnya warna alami karang atau bleaching terjadi akibat konsentrasi zooxanthella dalam sel karang dan atau pigmen zooxanthella berkurang atau hilang (Glynn, 1990). 
Kejadian bleaching karang pada 12 tahun yang lalu (1998) tidak dilaporkan secara serentak di Indonesia.  Akan tetapi sinyal kenaikan suhu perairan banyak dilaporkan oleh  para peneliti oseanografi  terkait dengan kejadian El-Nino.  Kejadian ini bukan hanya di Indonesia sebagai jalur Arlindo (Arus Lintas Indonesia) melainkan juga hampir diseluruh Pasifik Barat dan di Lautan Hindia.   El-nino terjadi diikuti oleh peristiwa bleaching karang.  Oleh karena itu, kejadian bleaching  secara local pada tahun 2009 yang baru lalu, telah mencatat sebagai awal dari fenomena pemanasan global  yang bisa terjadi kapan saja, termasuk peristiwa bleaching missal pada tahun 2010 ini (Yusuf,dkk, 2010). 
Karang bleaching bukanlah karang mati karena polip karang masih hidup namun konsentrasi simbiotik algae dan atau pigmennya telah berkurang atau hilang sama sekali.  Karena karang dalam fenomena bleaching tidak mengalami kematian maka mereka masih memiliki peluang untuk pemulihan kembali.  Namun beberapa pengalaman dari peristiwa bleaching terlihat bahwa lebih banyak berakhir dengan kematian dalam skala besar, khusus kematian karang di samudera India, Asia Tenggara, dan Karibia di atas 50 % (Walace and AW, 2000) . 
Penyebab dari bleaching tahun 1998 adalah akibat meningkatnya temperatur, khusus di Maldives dan Srilangka yang mengalami suhu tinggi mencapai 35o C pada bulan April hingga Juni 1998.  Fenomena ini juga dijumpai di Indonesia seperti di lampung (Zamani dan Wijonarno, no published), taman Nasional Bali Barat, Nusa Penida, Putra, Wijonarno, Komunikasi pribadi), karimun jawa (Wijonarno, komunikasi pribadi), beberapa site diving di Bali (wawancara dengan diver), Taka Bonerate, Spermonde (Muchsin, komunikasi pribadi), Togian (Marine RAP team, 1998). 
Suharsono (1990),   perubahan peningkatan suhu yang cukup mencolok antara 1 – 3oC dapat mempengaruhi fisiologi karang yang dapat mengakibatkan bleaching.  Beberapa peneliti lain juga melaporkan bahwa meningkatnya suhu laut beberapa derajat Celsius dalam kurun waktu yang singkat dapat mengakibatkan fenomena bleaching (Williams and Williams, 1990; Glynn, 1993 ; Crofford, 1990). 
Hasil peneliian Yusuf, dkk (2010) tercatat 4 famili karang keras yang dominan mengalami bleaching. Keempat  famili tersebut yaitu  Pocilloporidae, Poritidae, Acroporidae dan Fungiidae.  Intensitas koloni yang mengalami bleaching dihitung berdasarkan estimasi persentase luasan yang memutih.  Hasil pemantauan menunjukkan bahwa sebagian besar koloni dan spesies mengalami pemutihan >75%, sedangkan 3 kategori intensitas bleaching relatif sama (Tabel 1).  Nilai-nilai tersebut menyiratkan bahwa hampir sebagian besar (>50%) karang yang bleaching baik terhadap koloni/individu maupun terhadap spesies berada dalam kategori intensitas yang tinggi (>75%).
Table 1  Intensitas bleaching terhadap koloni dan spesies pada fenomena bleaching di terumbu karang pulau Badi, kabupaten Pangkep.

Glynn (1993) mengatakan bahwa apabila intensitas gangguan tidak besar atau tidak lama, maka banyak binatang karang akan pulih mendekati kondisi semula.  Sebaliknya intensitas dan gangguan penyinaran yang besar atau lama menyebabkan kematian karang.  Hampir 99 % karang yang bleaching mengalami kematian.  Peningkatan suhu di laut diduga berkaitan dengan adanya peristiwa El-nino tahun 1997-1998.  Dugaan ini didasarkan pada penemuan fenomena bleaching secara global pada tahun 1998 yang terjadi pula di Kenya, Cayman, Florida, kepulauan Galapagos, Pulau Crissmass. Ribuan meter persegi karang yang bleaching akibat kejadian tunggal dan menyeluruh di lawasan terumbu karang laut tropis. 
Fenomena karang bleaching di laut sekitar perairan Kepulauan Spermonde Selat Makassar  baru terpantau  tahun 2009 yang lalu. Sebagian kecil koloni dan spesies karang terkena bleaching dan terjadi secara lokal di lokasi pengamatan.  Walaupun kejadian bleaching karang ini  secara meluas pada tahun 2010 ini, namun penulis hanya melaporkan peristiwa awal bleaching tahun 2009.   Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena anomalia suhu permukaan laut saat terjadi fenomena bleaching dan menganalisis jenis intensitas bleaching pada komunitas terumbu karang di pulau Badi, kabupaten Pangkep (Yusuf, dkk 2010).

E.        Pandangan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis melalui wawancara terhadap 20 responden yang diambil dari sampel masyarakat pulau badi yang berprofesi sebagai nelayan
            Untuk lebih jelasnya penulis ingin membahas hasil penyebaran angket tersebut dan diturunkan ke dalam diagram berikut :

Diagram 2 Kejadian seperti apa yang disebut dengan perubahan iklim?

Berdasarkan diagram di atas terlihat bahwa persentase nelayan yang menganggap bahwa perubahan iklim sebenarnya adalah ombak yang bertambah tinggi lebih besar daripada musim hujan yang panjang dan angin kencang. Ini juga membuktikan bahwa sebagian besar nelayang menganggap bahwa perubahan iklim yang terjadi di pulau tersebut merupakan terjadinya ombak yang semakin tinggi.

Diagram 3 Apakah anda pernah melihat karang yang memutih?

Dari diagram terlihat bahwa sebagianbesar responden telah melihat karang yang memutih yakni dengan persentase sebesar 80 %, sedangkan yang tidak pernah melihat karang yang memutih persentasenya sebesar 20 %. Ini membuktikan bahwa sebagian besar nelayan telah melihat terjadinya karang yang memutih.

Diagram 4 seberapa besar tingkat pemutihan karang?

 Dari diagram terlihat bahwa persentase nelayan yang melihat tingkat pemutihan karang yang hanya terjadi sedang lebih besar daripada tingkat yang kecil dan tinggi. Persentase nelayan yang melihat pemutihan karang tingkat sedang sebesar 65 % sedangkan tingkat kecil sebesar 15 % dan tingkat tinggi 20 %. Ini membuktikan bahwa tingkat pemutihan karang masih dalam tingkat yang sedang.

Diagram 5 apakah populasi ikan meningkat atau menurun ketika terjadi pemutihan karang ?

Berdasarkan diagram diatas terlihat bahwa seluh responden beranggapan bahwa dengan terjadinya pemutihan karang menyebabkan populasi ikan yang ada pada terumbu karang tersebut bukannya meningkat, tetapi menurun.

Diagram 6 bagaimana hasil tangkapan ikan ketika terjadi pemutihan karang ? 

Berdasarkan diagram di atas terlihat bahwa dengan terjadinya pemutihan karang, menyebabkan populasi ikan menurun dan membuat hasil tangkapan nelayan juga menurun. Itu dibuktikan dengan persentase sebesar 90 % dari responden beranggapan bahwa hasil tangkapan menurun. Sedangkan sisanya sebesar 10 % menganggap bahwa hasil yang kapan mereka tetap atau tidak berpengaruh.

F.  Adaptasi Masyarakat Pulau Kecil Terhadap Perubahan Iklim

Masyarakat Pulau Badi memiliki beberapa jenis adaptasi selama terjadi perubahan iklim. Ada beberapa adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat pulau Badi. Penulis bagi dalam aspek ekonomi dan social. Cara-cara yang dilakukan oleh mereka untuk aspek ekonomi antara lain :
1. Membudidayakan karang hias dengan menggunakan transplantasi karang dan menjualnya ke pengepul. Karang hias hasil transplantasi tersebut akan dijual dan diimpor ke luar negeri. Ada beberapa jenis karang hias yang dibudidayakan di Pulau Badi antara lain Montipora dan Acropora. Hasil transplantasi itu akan dijual dan menambah penghasilan masyarakat pulau.
2.   Hal yang bisa menambah penghasilan para warga adalah menangkap cumi-cumi pada masa bulan purnama. Warga sering menangkap cumi-cumi atau sotong sebagai penambah penghasilan. Menurut mereka, hasil penjualan cumi-cumi sekilo bias untuk menambah uang untuk dapur.
3.   Selain itu, bagi para nelayan tempat tangkapan mereka menjadi lebih jauh. Biasanya pada musim barat, para nelayan akan menangkap ikan hingga Kendari. Mereka akan berada di Kendari untuk mencari ikan selama empat bulan. Hal ini dilakukan agar mereka bisa terus menghidupi keluarga mereka. Jika dihitung, hasil keuntungan kotor mereka selama melaut sekitar 100 juta. Namun itu belum dibagi dengan bensin, ongkos kapal, ongkos anak buah kapal, umpan.
            Sedangkan untuk adaptasi sosial yang dilakukan oleh warga pulau Badi adalah :
1.             Para masyarakat pulau juga memiliki kebiasaan baru untuk menghadapi perubahan iklim ini. Pada bulan Desember – Januari – Februari para masyarakat pulau berbelanja lebih banyak dari biasanya untuk persiapan hidup selama tiga bulan. Hal ini dilakukan karena cuaca pada bulan tersebut sangat buruk. Karena itu, masyarakat berbelanja lebih banyak dari bulan biasanya.

G.     Kesimpulan

Dari hasil penelitian kami, diketahui dampak perubahan iklim yang terjadi sangat berpengaruh pada sumber daya hayati laut seperti terumbu karang. Terumbu karang menjadi tempat rumah ikan, dan ketika terumbu karang mengalami pemutihan atau biasa disebut dengan coral bleaching, maka ikan pun akan berkurang.
Dampak yang terjadi karena perubahan iklim pun berimbas kepada masyarakat pulau kecil terutama pulau Badi sebagai objek penelitian. Akibat dari berkurangnya jumlah ikan yang ada di sekitar pulau Badi, menyebabkan pengaruh negative bagi kondisi ekonomi, yakni berkurangnya pendapatan dibandingkan sebelum terjadi perubahan iklim. Masyarakat pulau Badi menjadi belajar bagaimana menghadapi perubahan iklim. Dan mereka melakukan beberapa adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Adapun adaptasi yang dilakukan adalah menangkap ikan ke Kendari, menjual karang hasil transplantasi, mencari cumi-cumi atau sotong pada malam bulan purnama.










Artikel ini bersumber dari hasil penelitian kami bertiga; Azhari, Adlin dan Budi dalam mengikuti KTI di PIMNAS ke XXIV