A. Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Pemanasan Global
adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Sedangkan Perubahan Iklim adalah suatu
keadaan berubahnya pola iklim dunia. Suatu daerah mungkin mengalami pemanasan,
tetapi daerah lain mengalami pendinginan yang tidak wajar. Akibat kacaunya arus
dingin dan panas ini maka perubahan iklim juga menciptakan fenomena cuaca yang
kacau, termasuk curah hujan yang tidak menentu, aliran panas dan dingin yang
ekstrem, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya. Perubahan iklim
menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung
maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer
global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode
waktu tertentu.
Perubahan iklim merupakan isu global yang
mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21. Konvensi telah diratifikasi oleh Indonesia
melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994 dengan maksud untuk menjaga kestabilan
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan
pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim menyebabkan mencairnya
bongkahan es di kutub Utara dan Selatan, terjadinya pergeseran musim, di mana
musim kemarau akan berlangsung lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan, meningkatnya permukaan air laut, Disamping itu, dampak lain misalnya krisis persediaan
makanan akibat tingginya potensi gagal panen, krisis air bersih, meluasnya penyebaran
penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah dan diare, kebakaran hutan,
serta hilangnya jutaan spesies flora dan fauna.
Bagi masyarakat pulau kecil, perubahan iklim
berdampak cukup signifikan, terutama perubahan iklim yang ekstrim misalnya
angin laut dan ombak kuat menyebabkan mereka terisolir dan tidak bisa
melaut. Suplai bahan pokok terhambat,
sehingga kesempatan mencari nafkah tidak ada.
Sementara sumberdaya laut makin
menipis akibat rusaknya terumbu karang akibat bleaching’.
B. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sumberdaya Hayati Laut
Perubahan iklim terjadi
secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun.
Meskipun perlahan, dampaknya sebagaian besar permukaan bumi menjadi panas. Perubahan
iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak
terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama
adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan
temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair.
Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan
permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang
serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai.
Ancaman iklim global sudah menjadi kepedulian
komunitas internasional. Berbagai kalangan sudah menggelar pelbagai pertemuan
multilateral maupun regional untuk menghadapi ancaman itu. Terakhir, pertemuan
Konferensi Perubahan Iklim Desember 2007 di Bali. Pertemuan World Ocean
Conference (WOC) yang akan berlangsung 11-15 Mei 2009 di Manado juga
mengagendakannya. Hal ini penting karena perubahan iklim global berdampak
serius terhadap kehidupan nelayan tradisional di negeri ini. Setidaknya ada dua
fenomena ekstrem terhadap lautan akibat perubahan iklim global yakni kenaikan
suhu air laut dan permukaan laut.
Kenaikan suhu air
laut, pertama, memengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing ground
dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan-ikan yang hidup di
daerah karang akan mengalami penurunan populasi. Guldberg (2007) berpendapat bahwa
akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu
karang dan 50 persen biota laut. Bahkan, memprediksikan apabila suhu air laut
naik 1,5 0C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnakan 98 persen terumbu
karang di Great Barrier Reef, Australia. Barangkali nantinya di Indonesia kita
tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan.
Hofmann (2008),
menjustifikasi bahwa pemanasan global (peningkatan suhu dan keasaman) akan berdampak
pada hilangnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik yakni organisme
pteropoda. Dampak selanjutnya memengaruhi populasi ikan salmon, mackerel,
herring, dan cod, karena organisme itu sebagai sumber makanannya. Sementara
itu, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan budi
daya di wilayah pesisir.
Naiknya permukaan
laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak
ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi Akibatnya, nelayan
pembudi daya akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber
kehidupannya (UNDP, 2007).
Penyumbang terbesar dari
perubahan iklim global yakni meningkatnya kadar karbon dioksida yang diproduksi
oleh industri berbahan bakar fosil (migas dan batu bara), dan kendaraan
bermotor. Industrialisasi berbahan bakar ini terutama terjadi di negara-negara
maju yang memproduksi barang-barang konsumsi elektronik, dan makanan kaleng,
senjata, industri berat dan kendaraan bermotor seperti Amerika Serikat, Uni
Eropa, China dan India. Mereka enggan menandatangani emisi penurunan karbon,
sehingga membebankannya pada negara berkembang yang secara ekonomi morat-marit.
Naiknya permukaan laut akan
menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan
udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). akibat pemanasan
global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota
laut. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan
Timur, apabila suhu air laut naik 1,50C setiap tahunnya sampai 2050 akan
memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi menikmati
lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan
waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang
berubah.
Gambar 1 : Perubahan suhu permukaan air laut
Kenaikan temperatur
menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini
menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut.
Hal ini membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti
pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan
menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat
pesisir pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau,
serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.
B.b.1 Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Terumbu Karang
Dampak perubahan iklim pada kelestarian terumbu karang dunia menjadi
perhatian serius dari enam negara di kawasan Coral Triangle). Keenam negara
kawasan Coral Triangle ini meliputi Papua Nugini, Malaysia, Timor Leste,
Kepulauan Solomon, Filipina dan Indonesia.
Dalam sebuah Simposium penyelamatan terumbu karang dari perubahan
iklim di Sanur Bali (2/9), Keenam negara sepakat untuk segera mengambil langkah
antisipasi bersama. Salah satu langkah Antisipasi yang dipersiapkan adalah
mengambil inisiatif membangun jaringan peringatan pemutihan karang (coral
bleaching) sebagai upaya mempersiapkan antisipasi kerusakan karang yang lebih
parah akibat dampak perubahan iklim.
Peneliti adaptasi terhadap perubahan iklim Asia-Pasifik dari The
Nature Concervation (TNC) Elizabeth Mc Loed menyatakan protokol adaptasi
terumbu karang pada dasarnya sangat diperlukan oleh keenam negara karena
kawasan coral triangle merupakan pusat terumbu karang dunia. Selain itu ancaman
kerusakan terumbu karang akibat dampak perubahan iklim sudah semakin
mengkhawatirkan.
B.b.2 CORAL BLEACHING (PEMUTIHAN KARANG)
Pemutihan karang adalah
perubahan warna pada jaringan karang dari warna alaminya yang kecoklat-coklatan
atau kehijau-hijauan menjadi warna putih pucat,. Pemutihan karang dapat mengakibatkan
kematian pada karang. Antara bulan Maret dan Mei 1983 peneliti dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengamati peristiwa pemutihan karang
besar-besaran dengan tingkat kematian yang luas mulai dari Selat Sunda (Jawa
Barat), Kepulauan Seribu (Jakarta) sampai Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah).
Sejak saat itu terjadi lagi
peristiwa pemutihan karang secara global pada tahun 1998, dimana lebih dari 55
negara mengalami tingkat pemutihan dan kematian karang yang tinggi. Sebanyak 90%
karang mati akibat pemutihan pada 1998 di Sumatera Barat dan Kepulauan Gili,
Lombok. Karang di wilayah Indonesia yang lain juga banyak yang terkena
pemutihan.
Karena karang memegang peranan
penting yakni sebagai rangka dari pembentukan terumbu karang dan pulau karang,
organisme terumbu karang dan juga perikanan sangat tergantung hidupnya pada
karang yang sehat.
Hilangnya alga simbiotiknya
yang bernama zooxanthellae yang banyak sekali hidup di jaringan karang atau
hilangnya pigmen warna yang memberikan warna pada karang, dapat menyebabkan
pemutihan pada karang. Tanpa zooxanthellae tersebut karang tidak dapat bertahan
hidup lebih lama.
Peristiswa pemutihan sering
dihubungkan dengan gangguan lingkungan seperti naiknya suhu air laut. Karang
dapat hidup dalam batas toleransi suhu berkisar dari 20 sampai 30 derajat selsius.
Suhu kritis yang dapat menyebabkan karang memutih tergantung dari penyesuaian karang
tersebut terhadap suhu air laut rata-rata daerah dimana ia hidup. Karang
cenderung memutih apabila suhu meningkat tajam dalam waktu yang singkat atau
suhu meningkat perlahan lahan dalam jangka waktu yang panjang.
Gangguan alam
yang lain yang dapat menyebabkan pemutihan karang yaitu tingginya tingkat sinar
ultra violet, perubahan salinitas secara tiba-tiba, kekurangan cahaya dalam
jangka waktu yang lama, dan penyakit. Faktor pengganggu
lainnya adalah kegiatan manusia, mencakup sedimentasi, polusi dan penangkapan
ikan dengan bahan peledak.
Ada perbedaan diantara
spesies dan polulasi dalam merespon penyembuhan dari pemutihan. Beberapa karang
dapat sembuh dan tumbuh normal lagi ketika penyebab pemutihan hilang dan dapat mengumpulkan
kembali zooxanthellaenya.
Karang akan kembali ke warna
semula apabila penyebab pemutihan hilang, tetapi akan mati apabila penyebabnya
terus berlangsung. Oleh karena itu, pemulihan karang dari pemutihan juga
tergantung dari durasi dan tingkat gangguan
C. Fenomena Anomali Suhu Permukaan Laut
Kejadian bleaching terutama dikaitkan dengan perairan yang
hangat sekitar terumbu karang sekitar 2o C selama beberapa
minggu. Selain itu, tinginya tingkat
radiasi, UV, dan stressor lainnya seperti polutan tekanan osmotic dan eutrofikasi
bisa menjadi penyebab terjadinya bleaching pada karang baik factor
tunggal maupun kombinasi dari beberapa stressor (Stambler and Dubinsky,
2003). Kejadian bleaching pada karang
akibat ketidak mampuan jaringan karang mengikat zooxanthella atau merupakan
mekanisme penyelamatan zooxanthella akibat massa air dengan suhu yang
menyimpang.
Peningkatan suhu air laut Kepulauan Spermonde dapat dilihat
dari hasil pengukuran manual temperature yang dilakukan pada akhir bulan Mei
hingga akhir bulan Juli 2009. Pada table
1 dibawah ini terjadi anomali suhu yang
meningkat hingga maksimum 1,24oC
dari suhu rata-rata tahunan 29,09oC. Anomali suhu yang meningkat tercatat pada satu minggu akhir Mei 2009. Suhu air permukaan terus menurun hingga
mencapai suhu normal pada tanggal 13 – 21 Juni 2009. Sampai akhir pengamatan suhu permukaan laut
mendekati 28,46 oC dengan
anomali – 0,62 oC pada
tanggal 30 Juli 2009.
D. Kondisi Sumber Daya Laut Akibat Pemansan Global
Pada saat pengamatan terhadap komunitas karang akhir bulan
Mei 2009, sebagian besar karang sudah nampak
ada yang bleaching (Yusuf, dkk. 2010).
Hal ini diasumsikan bahwa, kejadian pemanasan suhu perairan sudah berlangsung sebelum ditemukannya karang
bleaching sebagai pemicu kejadian tersebut.
Pemicu karang bleaching di Kepulauan Karibia adalah meningkatnya suhu
perairan sebesar 0,6 – 1,6 dari rata-rata tahunan. Setiap individu koloni karang memiliki respon
yang berbeda terhadap perubahan temperature tergantung dari genotip alga simbionnya (Rowan
et al. 1997) dan siklus hidup dari koloni karang (Brown et al.
2002).
Menurut Yusuf, dkk (2010) bahwa selama lebih dari 20 tahun,
telah terjadi bleaching masal yakni pada : 1979-80, 1982-83, 1987, 1991,
1994,1998. Tidak ada laporan kejadian
bleaching sebelum tahun 1979. Pada masa bleaching karang kehilangan ciri warna
spesifiknya selama beberapa minggu dan menjadi sangat putih tampaknya.
Kehilangan warna coklat diakibatkan oleh menurunnya jumlah alga
simbiotik (zooxanthellae) yang esensial bagi kesehatan karang. ’Karang bleaching’ diartikan sebagai hilangnya warna alami
binatang karang yang merupakan karakteristik sehatnya binatang karang (Szmant
dan Gassman, 1990). Hilangnya warna
alami karang atau bleaching terjadi akibat konsentrasi zooxanthella dalam sel
karang dan atau pigmen zooxanthella berkurang atau hilang (Glynn, 1990).
Kejadian bleaching karang pada 12 tahun yang lalu (1998)
tidak dilaporkan secara serentak di Indonesia.
Akan tetapi sinyal kenaikan suhu perairan banyak dilaporkan oleh para peneliti oseanografi terkait dengan kejadian El-Nino. Kejadian ini bukan hanya di Indonesia sebagai
jalur Arlindo (Arus Lintas Indonesia) melainkan juga hampir diseluruh Pasifik
Barat dan di Lautan Hindia. El-nino
terjadi diikuti oleh peristiwa bleaching karang. Oleh karena itu, kejadian bleaching secara local pada tahun 2009 yang baru lalu,
telah mencatat sebagai awal dari fenomena pemanasan global yang bisa terjadi kapan saja, termasuk
peristiwa bleaching missal pada tahun 2010 ini (Yusuf,dkk, 2010).
Karang bleaching bukanlah karang mati karena polip
karang masih hidup namun konsentrasi simbiotik algae dan atau pigmennya telah
berkurang atau hilang sama sekali.
Karena karang dalam fenomena bleaching tidak mengalami kematian maka
mereka masih memiliki peluang untuk pemulihan kembali. Namun beberapa pengalaman dari peristiwa
bleaching terlihat bahwa lebih banyak berakhir dengan kematian dalam skala
besar, khusus kematian karang di samudera India, Asia Tenggara, dan Karibia di
atas 50 % (Walace and AW, 2000) .
Penyebab dari bleaching tahun
1998 adalah akibat meningkatnya temperatur, khusus di Maldives dan Srilangka
yang mengalami suhu tinggi mencapai 35o C pada bulan April hingga
Juni 1998. Fenomena ini juga dijumpai di
Indonesia seperti di lampung (Zamani dan Wijonarno, no published), taman
Nasional Bali Barat, Nusa Penida, Putra, Wijonarno, Komunikasi pribadi),
karimun jawa (Wijonarno, komunikasi pribadi), beberapa site diving di Bali
(wawancara dengan diver), Taka Bonerate, Spermonde (Muchsin, komunikasi
pribadi), Togian (Marine RAP team, 1998).
Suharsono (1990), perubahan peningkatan suhu yang cukup
mencolok antara 1 – 3oC dapat mempengaruhi fisiologi karang yang
dapat mengakibatkan bleaching. Beberapa
peneliti lain juga melaporkan bahwa meningkatnya suhu laut beberapa derajat
Celsius dalam kurun waktu yang singkat dapat mengakibatkan fenomena bleaching
(Williams and Williams, 1990; Glynn, 1993 ; Crofford, 1990).
Hasil peneliian Yusuf, dkk (2010) tercatat 4 famili karang
keras yang dominan mengalami bleaching. Keempat
famili tersebut yaitu
Pocilloporidae, Poritidae, Acroporidae dan Fungiidae. Intensitas koloni yang mengalami bleaching
dihitung berdasarkan estimasi persentase luasan yang memutih. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa sebagian
besar koloni dan spesies mengalami pemutihan >75%, sedangkan 3 kategori
intensitas bleaching relatif sama (Tabel 1).
Nilai-nilai tersebut menyiratkan bahwa hampir sebagian besar (>50%)
karang yang bleaching baik terhadap koloni/individu maupun terhadap spesies
berada dalam kategori intensitas yang tinggi (>75%).
Table 1 Intensitas bleaching terhadap koloni dan spesies pada fenomena
bleaching di terumbu karang pulau Badi, kabupaten Pangkep.
Glynn (1993) mengatakan bahwa apabila intensitas gangguan tidak
besar atau tidak lama, maka banyak binatang karang akan pulih mendekati kondisi
semula. Sebaliknya intensitas dan
gangguan penyinaran yang besar atau lama menyebabkan kematian karang. Hampir 99 % karang yang bleaching mengalami
kematian. Peningkatan suhu di laut
diduga berkaitan dengan adanya peristiwa El-nino tahun 1997-1998. Dugaan ini didasarkan pada penemuan fenomena
bleaching secara global pada tahun 1998 yang terjadi pula di Kenya, Cayman, Florida,
kepulauan Galapagos, Pulau Crissmass. Ribuan meter persegi karang yang bleaching akibat
kejadian tunggal dan menyeluruh di lawasan terumbu karang laut tropis.
Fenomena karang bleaching di laut
sekitar perairan Kepulauan Spermonde Selat Makassar baru terpantau tahun 2009 yang lalu. Sebagian kecil koloni
dan spesies karang terkena bleaching dan terjadi secara lokal di lokasi
pengamatan. Walaupun kejadian bleaching
karang ini secara meluas pada tahun 2010
ini, namun penulis hanya melaporkan peristiwa awal bleaching tahun 2009. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena
anomalia suhu permukaan laut saat terjadi fenomena bleaching dan menganalisis
jenis intensitas bleaching pada komunitas terumbu karang di pulau Badi,
kabupaten Pangkep (Yusuf, dkk 2010).
E. Pandangan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim
Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis melalui wawancara terhadap 20
responden yang diambil dari sampel masyarakat pulau badi yang berprofesi
sebagai nelayan
Untuk
lebih jelasnya penulis ingin membahas hasil penyebaran angket tersebut dan
diturunkan ke dalam diagram berikut :
Berdasarkan diagram di atas
terlihat bahwa persentase nelayan yang menganggap bahwa perubahan iklim sebenarnya
adalah ombak yang bertambah tinggi lebih besar daripada musim hujan yang
panjang dan angin kencang. Ini juga membuktikan bahwa sebagian besar nelayang
menganggap bahwa perubahan iklim yang terjadi di pulau tersebut merupakan
terjadinya ombak yang semakin tinggi.
Dari diagram terlihat bahwa
sebagianbesar responden telah melihat karang yang memutih yakni dengan
persentase sebesar 80 %, sedangkan yang tidak pernah melihat karang yang
memutih persentasenya sebesar 20 %. Ini membuktikan bahwa sebagian besar
nelayan telah melihat terjadinya karang yang memutih.
Dari diagram terlihat bahwa
persentase nelayan yang melihat tingkat pemutihan karang yang hanya terjadi
sedang lebih besar daripada tingkat yang kecil dan tinggi. Persentase nelayan
yang melihat pemutihan karang tingkat sedang sebesar 65 % sedangkan tingkat
kecil sebesar 15 % dan tingkat tinggi 20 %. Ini membuktikan bahwa tingkat
pemutihan karang masih dalam tingkat yang sedang.
Berdasarkan diagram diatas
terlihat bahwa seluh responden beranggapan bahwa dengan terjadinya pemutihan
karang menyebabkan populasi ikan yang ada pada terumbu karang tersebut bukannya
meningkat, tetapi menurun.
Berdasarkan
diagram di atas terlihat bahwa dengan terjadinya pemutihan karang, menyebabkan
populasi ikan menurun dan membuat hasil tangkapan nelayan juga menurun. Itu
dibuktikan dengan persentase sebesar 90 % dari responden beranggapan bahwa hasil
tangkapan menurun. Sedangkan sisanya sebesar 10 % menganggap bahwa hasil yang
kapan mereka tetap atau tidak berpengaruh.
F. Adaptasi Masyarakat Pulau Kecil Terhadap Perubahan Iklim
Masyarakat
Pulau Badi memiliki beberapa jenis adaptasi selama terjadi perubahan iklim. Ada
beberapa adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat pulau Badi. Penulis bagi dalam
aspek ekonomi dan social. Cara-cara yang dilakukan oleh mereka untuk aspek
ekonomi antara lain :
1. Membudidayakan karang hias
dengan menggunakan transplantasi karang dan menjualnya ke pengepul. Karang hias
hasil transplantasi tersebut akan dijual dan diimpor ke luar negeri. Ada
beberapa jenis karang hias yang dibudidayakan di Pulau Badi antara lain Montipora dan Acropora. Hasil transplantasi itu akan dijual dan menambah
penghasilan masyarakat pulau.
2. Hal yang bisa menambah
penghasilan para warga adalah menangkap cumi-cumi pada masa bulan purnama.
Warga sering menangkap cumi-cumi atau sotong sebagai penambah penghasilan.
Menurut mereka, hasil penjualan cumi-cumi sekilo bias untuk menambah uang untuk
dapur.
3.
Selain itu, bagi para nelayan
tempat tangkapan mereka menjadi lebih jauh. Biasanya pada musim barat, para
nelayan akan menangkap ikan hingga Kendari. Mereka akan berada di Kendari untuk
mencari ikan selama empat bulan. Hal ini dilakukan agar mereka bisa terus
menghidupi keluarga mereka. Jika dihitung, hasil keuntungan kotor mereka selama
melaut sekitar 100 juta. Namun itu belum dibagi dengan bensin, ongkos kapal,
ongkos anak buah kapal, umpan.
Sedangkan
untuk adaptasi sosial yang dilakukan oleh warga pulau Badi adalah :
1.
Para masyarakat pulau juga
memiliki kebiasaan baru untuk menghadapi perubahan iklim ini. Pada bulan
Desember – Januari – Februari para masyarakat pulau berbelanja lebih banyak
dari biasanya untuk persiapan hidup selama tiga bulan. Hal ini dilakukan karena
cuaca pada bulan tersebut sangat buruk. Karena itu, masyarakat berbelanja lebih
banyak dari bulan biasanya.
G. Kesimpulan
Dari hasil
penelitian kami, diketahui dampak perubahan iklim yang terjadi sangat
berpengaruh pada sumber daya hayati laut seperti terumbu karang. Terumbu karang
menjadi tempat rumah ikan, dan ketika terumbu karang mengalami pemutihan atau
biasa disebut dengan coral bleaching, maka ikan pun akan berkurang.
Dampak yang
terjadi karena perubahan iklim pun berimbas kepada masyarakat pulau kecil
terutama pulau Badi sebagai objek penelitian. Akibat dari berkurangnya jumlah
ikan yang ada di sekitar pulau Badi, menyebabkan pengaruh negative bagi kondisi
ekonomi, yakni berkurangnya pendapatan dibandingkan sebelum terjadi perubahan
iklim. Masyarakat pulau Badi menjadi belajar bagaimana menghadapi perubahan
iklim. Dan mereka melakukan beberapa adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Adapun adaptasi
yang dilakukan adalah menangkap ikan ke Kendari, menjual karang hasil
transplantasi, mencari cumi-cumi atau sotong pada malam bulan purnama.
Artikel
ini bersumber dari hasil penelitian kami bertiga; Azhari, Adlin dan Budi dalam
mengikuti KTI di PIMNAS ke XXIV
0 komentar:
Posting Komentar